Title : Love is Painful – Chapter Three
Author : Chanyeonie
Main Casts : Atika Sari a.k.a Kim Rae Ri| Kim Ki Bum (Key)
Support Casts : Lee Jin Ki (Onew)| Kim Jong In (Kai)|Lee Ji Eun (IU) and others.
Genre : Sad, Romance, Angst, Drama
Length : Chaptered
Rating : PG-13
Disclaimer : Idea is owned by Atika Sari, but plot is mine.
Warning :
Typo yang mungkin akan menggangu. Gejala kebingungan yang akan dialami reader karena narasi author yang ruwet. Penulisan yang –mungkin- tidak sesuai EYD.
-LiP-
Kepalanya serasa berputar-putar. Entah benda apa yang bergerak tanpa henti di dalam perutnya. Darahnya serasa mendidih, meletup-letup bak magma gunung berapi. Kesadarannya hampir saja hilang. Namun akal sehatnya masih mampu membuatnya tersadar. Dengan gerakan kilat, dia mendorong tubuh pemuda di hadapannya sekarang.
“Mianhae…,” bisik pemuda itu.
Rae Ri hanya terdiam. Kepalanya terus tertunduk. Tangan kanannya tidak henti-hentinya memegang bibirnya yang beberapa detik lalu telah merasakan manis dari bibir pemuda yang tengah bersamanya. Jin Ki –pemuda itu –terus menatap Rae Ri khawatir. Dia baru saja menyadari bahwa apa yang dia lakukan sangat tidak sopan. Rae Ri pasti telah terluka oleh perbuatannya itu.
“Mianhae Rae Ri-ya. Aku –,” Jin Ki tidak tahu harus mengatakan apa. “Jeongmal mianhae.”
“Gwaenchanha Oppa,” decit Rae Ri.
Jin Ki semakin merasa bersalah. “Mianhae, aku sangat lancang. Aku memang bodoh. Tidak seharusnya aku melakukan itu, maksudku menciummu,” volume suara Jin Ki semakin melembut dan dia tertunduk.
“Gwaenchanha Oppa,” Rae Ri menegakkan kepalanya dan menatap Jin Ki dengan senyum khasnya.
“Kamu tidak marah?”
“Anio,” Rae Ri menggelengkan kepalanya kencang. “Aku pergi, eoh?” Rae Ri memutar badanya.
“Tunggu!”
Jin Ki memeluk Rae Ri dari belakang. Dia tidak peduli lagi dengan ego atau rasa malu. Dia harus mengatakan semuanya kepada Rae Ri. Tidak peduli apapun jawaban Rae Ri. Dia akan menerimanya.
“Oppa?” Rae Ri berusaha melepaskan tangan Jin Ki yang dengan erat mengait tubuhnya.
“Rae Ri-ya, saranghae.”
Rae Ri terdiam, entah terkejut atau karena hal lain. Napas Jin Ki terdengar begitu kencang di gendang telinganya. Hembusan napas Jin Ki membelai puncak kepalanya. Otak Rae Ri benar-benar tidak mampu bekerja dengan baik kali ini. Dia belum bisa mencerna segala kejadian yang terjadi begitu tiba-tiba dan tidak pernah dia duga itu. Bahkan kekagetannya akan aksi Jin Ki yang menciumnya tiba-tiba masih membekas dalam dirinya.
“Saranghamnida,” ulang Jin Ki yang tidak mendapatkan sedikitpun respon.
Rae Ri menghela napas. “Oppa,” pelukan Jin Ki mengendur. “Jin Ki Oppa,” Rae Ri memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Jin Ki.
“Nde?”
“Oppa yakin dengan apa yang Oppa katakan?” Rae Ri menatap intens mata Jin Ki.
“Apa aku terlihat berbohong?”
Rae Ri tertunduk, “Anio… hanya saja, Oppa tidak sebaiknya bersamaku.”
“Wae? Apa ada orang yang kamu sukai?”
“Anio…,” Rae Ri tersenyum. “Aku hanya akan melukai Oppa pada akhirnya.”
“Nan arayeo… Tetapi aku tidak peduli dengan luka itu nantinya. Yang terpenting adalah melindungimu, aku ingin bersamamu.”
“Oppa tidak tahu apapun,” elak Rae Ri.
“Aku tahu Rae Ri-ya. Aku tahu kalau kamu –.”
Perkataan Jin Ki selanjutnya seolah tidak terdengar di telinga Rae Ri. Ketidakpercayaan Rae Ri akan hal yang di ketahui Jin Ki membuat dia mati rasa. Jin Ki tahu, dia tahu semuanya. Hal yang selama ini dia sembunyikan, dapat dengan mudah diketahui Jin Ki. Bahkan Jin Ki lebih tahu daripada dirinya sendiri.
-LiP-
Kepalanya terasa akan pecah. Hal yang dia fikirkan membuat otaknya berkecamuk dan terasa begitu penuh. Entah kemana alam bawah sadarnya memerintah sang kaki untuk membawanya pergi. Tetapi yang pasti adalah bahwa alam bawah sadarnya menyelamatkan dia dari kejadian yang membuatnya seperti mayat hidup sekarang.
Ji Eun tidak bisa begitu saja membiarkan Ki Bum berjalan tidak tentu arah seperti ini. Dia terus membuntutinya, tepat seperti seorang pengasuh yang menjaga seorang balita asuhannya. Mungkin semua ini bukanlah tanggung jawabnya. Tetapi dia sangat mengerti apa yang dirasakan Ki Bum. Iba adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perhatiannya pada Ki Bum sekarang.
Lalu lalang kendaraan di jalan raya begitu padat dan beberapa terkesan ugal-ugalan. Ki Bum menghentikan langkahnya tepat di pinggir trotoar jalan. Kepalanya tertunduk sempurna, matanya memperhatikan ujung sepatunya yang sama sekali tidak ada kaitanya dengan apa yang dia rasakan sekarang. Ji Eun masih mengawasi beberapa meter di belakangnya.
Matahari sangat terik siang ini. Bukanlah hal yang biasa untuk musim ini. Fenomena alam yang tidak tepat. Ki Bum menengadahkan kepalanya, berniat untuk mengintip sang surya. Matanya menyipit sempurna untuk mengurangi intensitas cahaya yang mungkin bisa membakar matanya. Begitu gagahnya matahari itu, pemikiran yang konyol untuk saat ini.
Ki Bum tetap dalam posisi itu untuk beberapa saat. Peluh terlihat membingkai wajahnya. Tidak berbeda juga dengan Ji Eun. Gadis itu tidak terlihat mengeluh. Dia dengan setia berada di belakang Ki Bum. Hati kecilnya membisikkan perintah untuknya agar tetap bersama pemuda itu. Mungkin saja hal yang buruk akan terjadi pada pemuda itu. Dia tahu dengan sangat bahwa pemuda itu sedang kehilangan akal sehatnya sekarang.
“Ki Bum-ssi!” panggilnya.
Tidak ada respon sama sekali dari pemuda di hadapannya itu. Pemuda itu terus saja memandang matahari. Apa dia berniat membakar matanya? Bukankah menatap matahari terus menerus seperti itu akan menimbulkan dampak buruk baginya? Mungkin yang paling ringan adalah pingsan. Ji Eun tidak suka membayangakan berbagai kemungkinan terburuk itu.
“Ki Bum-ssi!”ulangnya lagi.
Ki Bum menegakkan kepalanya kembali. Namun ternyata bukan untuk menjawab panggilan Ji Eun. Mata elangnya itu terlihat fokus pada objek di seberang jalan. Tanpa peduli pada keadaan jalan raya yang sangat ramai, Ki Bum mulai melangkahkah kakinya menuruni trotoar jalan.
“Yak!!!” teriak Ji Eun sembari berlari ke arah Ki Bum.
Ji Eun berhasil meraih lengan Ki Bum. Tenaganya yang tidak seberapa itu mampu menarik Ki Bum untuk menepi sebelum sebuah mobil menyerempetnya. Tubuh Ji Eun yang notabenenya kecil dan lemah itu kehilangan keseimbangan. Dia pun terjatuh dan ikut menarik Ki Bum.
“Akh…!” pekiknya.
Jeritan Ji Eun tepat mengudara di liang telinga Ki Bum. “Eee?” Ki Bum segera mengangkat tubuhnya, jiwanya telah kembali ke raganya. “Mianhae…”
Ji Eun hanya mengaduh, “Hampir saja. Apa kamu tidak melihat mobil sebesar itu?”
“Nde?” Ki Bum membantu Ji Eun berdiri.
“Bagaimana kalau kamu tertabrak atau minimal terserempet tadi? Bisa saja kamu terluka, kepala terbentur aspal terus meninggal dunia. Kamu sudah bosan hidup? Kamu fikir hanya karena masalah kecil seperti itu berarti kamu harus mengakhiri hidupmu? Pemikiranmu dangkal sekali.”
Ki Bum mengeryitkan dahinya, “Apa maksudmu, Ji Eun-ssi?”
“Aku…,” Ji Eun baru saja sadar bahwa dia telah berkata yang tidak seharusnya.
“Kamu sudah selesai menceramahiku?”
“Nde?”
Ki Bum mendengus mengejek, “Mengapa kamu peduli dengan apa yang akan aku lakukan? Memangnya kamu tahu apa?”
“Aku memang tidak tahu apa-apa. Mungkin aku hanya salah menduga bahwa kejadian tadi, maksudku saat yeoja dan namja itu –,” Ji Eun memainkan tali tasnya –gugup. “Aku hanya tahu kamu terluka oleh kejadian tadi,” suara Ji Eun terdengar seperti berbisik. Kepalanya tertunduk sempurna, menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.
“Terluka katamu? Kamu pandai sekali mengarang cerita,” tegas Ki Bum.
“Nde?”
“Jangan menatapku seperti itu seolah aku perlu dikasihani.”
“Mianhae…,” Ji Eun kembali tertunduk. “Aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi aku tahu, sejak pertama aku melihat Ki Bum-ssi. Aku tahu bahwa ada rasa kesepian, kekosongan, kehilangan dan rasa bersalah yang besar dalam diri Ki Bum-ssi.”
Ki Bum berdecak tidak percaya. “Cih… ternyata kamu yeoja yang sok tahu.”
“Anio…,” Ji Eun segera mengelak. “Semuanya tergambar jelas di wajah Ki Bum-ssi. Aku tahu itu,aku tahu bagaimana rasanya semua itu.”
“Nde?” Ki Bum tertawa kecil. “Baiklah, seperti cukup sudah acara menebak ekspresi wajah,” Ki Bum berlalu meninggalkan Ji Eun.
Ji Eun menahan lengan baju Ki Bum –sedikit menariknya. “Tunggu!”
“Ah…,” Ki Bum berbalik, dia baru ingat sesuatu. “Mianhae… atas kelancanganku menarikmu tadi sehingga harus melihat ‘kejadian’ yang katamu membuat aku hampir gila.”
-LiP-
“Aku akan ke sana dulu,” bisik Jin Ki tepat di telinga Rae Ri.
Rae Ri hanya mengangguk mengiyakan. Jin Ki menyempatkan diri untuk mengacak rambut Rae Ri perlahan sebelum meninggalkannya. Gadis yang tengah berkosentrasi pada buku yang dia baca itu hanya mendelik kesal. Melihat ekspresi kesal Rae Ri itu membuat Jin Ki ingin tertawa terpingkal-pingkal. Dia memang paling suka melihat Rae Ri memelototinya dan memasang wajah sangar. Sangat manis.
Rae Ri tidak langsung kembali terfokus pada bukunya seperti sebelumnya. Dia memperhatikan ke mana Jin Ki pergi agar memudahkan saat mencarinya nanti. Toko buku yang tengah dia kunjungi sekarang sangatlah besar. Tidak mungkin juga dia berteriak-teriak mencari Jin Ki nantinya. Toko buku super besar ini sangat mirip perpustakaan.
Setelah memastikan ke mana Jin Ki, Rae Ri kembali menyapa hamparan kata-kata yang sangat padat dan berukuran kecil itu. Sesekali dia akan memperbaiki kacamata bacanya. Dia hanya memakai kacamata saat membaca saja. Hobinya membaca memang perlu dibarengi dengan beberapa tindakan pencegahan.
“Buku yang menarik.”
Rae Ri tidak berniat mengangkat kepalanya, “Ne… sangat menarik.”
“Hentikan membaca dengan cara seperti itu. Bisa-bisa kamu memakai kacamata selamanya.”
“Nde?” Rae Ri segera menatap orang yang berdiri di sampingnya. “Nugundae?” Rae Ri tidak mengenali orang yang kini membelakanginya, ditambah suara orang itu dibuat-buat.
Orang itu memutar tubuhnya. Gerak tangannya sangat cepat merebut buku yang Rae Ri baca dan menaruh di tumpukan buku terdekat. Rae Ri hanya melongo dan hendak protes, namun orang itu malah meraih pergelangan tangannya.
“Yak…!” Pekiknya tertahan.
“Ikut aku!” Perintah orang itu lagi yang Rae Ri kenali berjenis kelamin pria.
Rae Ri mengurungkan niatnya untuk berteriak. Bekas luka pada tangan kanan orang misterius itu membuat dia tahu siapa orang itu. Dia hanya terdiam dan membiarkan orang itu menyeretnya keluar dari toko buku itu. Jin Ki melihat kejadian itu, tetapi Rae Ri memberi isyarat bahwa orang yang bersamanya adalah temannya.
Langit mulai terlihat keorangye-oranyean. Jalanan tetap padat seperti biasanya. Lalu lalang pejalan kaki di trotoar tidak kalah padat dengan kendaraan di jalan raya sana. Kedai-kedai makanan ringan mulai menjajakan dagangannya. Lampu-lampu jalan dan taman mulai dinyalakan. Suasana ini tidak jauh berbeda untuk setiap kota metropolitan yang ada di Korea Selatan. Semua sama persis.
Rae Ri masih sabar menerima perlakuan orang itu. Lebih spesifiknya seorang pemuda berambut pirang –ditutupi topi –dengan tubuhnya yang tidak bisa dikatakan besar. Kim Ki Bum, bodohnya dia jika tidak mengenali pemuda itu. Pemuda ini memang keras kepala. Kapan dia akan menyerah?
“Berhenti!” Rae Ri menghentikan langkahnya dan menarik tangannya dengan paksa dari genggaman Ki Bum.
Ki Bum melepaskan masker yang sedari tadi menutupi wajahnya. Dia berpenampilan seperti itu seharian, demi membuntuti Rae Ri dan Jin Ki yang tengah berkencan di akhir pekan. Seperti biasa, dia akan tersenyum lembut di hadapan Rae Ri. Senyum manis yang tidak dibarengi oleh tatapan mata penuh kebahagiaan. Dia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan rasa sakit itu demi terlihat seperti ‘Ki Bum yang dulu dan baik-baik saja’ di hadapan Rae Ri.
“Kajja kita makan malam!” Mohon Ki Bum.
“Aku akan makan malam dengan Jin Ki Oppa,” jawab Rae Ri ketus.
Senyum Ki Bum masih bertahan, “Ada hal penting yang ingin aku katakan.”
“Katakan saja di sini, sekarang. Jika memungkinkan cepatlah! Jin Ki Oppa menungguku,” Rae Ri melipat tangannya di depan dada.
Ki Bum tertunduk dan tertawa kecil. Sesekali dia akan menegakkan kepalanya dan menebarkan pandangan ke sekelilingnya. Orang berlalu lalang di sekitarnya. Mereka semua tertawa, tersenyum, dan terlihat bahagia. Seharusnya suasana seperti ini akan memberikan sugesti positif untuk semua orang, begitu juga dirinya.
“Ki Bum-ssi, katakan cepat! Jangan buang-buang waktu. Apa kamu fikir aku tidak kesal di seret olehmu hingga sampai di sini? Bisa saja aku berteriak bahwa kamu adalah penculik.”
“Aku hanya ingin penjelasan darimu.”
Tangan Rae Ri mengepal dengan erat, “Penjelasan apa lagi? Bukankah aku yang seharusnya meminta penjelasan? Mengapa kamu selalu membuntutiku?”
“Karena aku mencintamu!”
“Cih…,” Rae Ri tertawa kecil. “Ki Bum-ssi… berfikirlah dewasa. Lupakan masa lalu! Kita sebaiknya menghabiskan waktu kita untuk bersenang-senang dan melihat ke depan. Aku akan menjalani hidupku dengan baik, begitu pun kamu. Kita tetap berteman ‘kan? Hubungan kita tidak benar-benar berakhir.”
Senyum Ki Bum menghilang, “Aku sangat mencintaimu, Rae Ri-ya. Berikan akau kesempatan kedua. Aku mohon.”
“Sudahlah… kamu memang tidak pernah mengerti,” Rae Ri memutar badanya dan hendak kembali ke toko buku tadi.
“Kim Rae Ri!”
“Mwo? Aku bosan denganmu, Ki Bum-ssi. Kamu terlalu baik, sempurna. Dan itu semua membuat aku jenuh. Aku bukan lagi Rae Ri yang dulu. Aku bukan lagi Rae Ri-mu yang lugu. Aku tidak pantas untuk dirimu. Kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri nantinya. Jadi berhenti berharap dariku. Sebaiknya kita tidak bertemu lagi. Aku tidak lagi mencintaimu seperti dulu, tetapi bukan berarti aku membencimu. Berhenti menekanku! Jangan membuat aku akhirnya membencimu,” Rae Ri tertunduk dan berlalu.
Ki Bum mematung, mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Rae Ri. Kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Dia berusaha keras untuk tidak mempercayai perkataan Rae Ri. Semakin dia berusaha keras, bisikan-bisikan yang membenarkan ucapan Rae Ri memprovokasi. Rasa ingin membalas perbuatan Rae Ri yang sangat menyakitkan ini mulai tumbuh di dalam dirinya. Haruskah?
-LiP-
Keadaan dapur cukup untuk dikatakan berantakan. Di hari libur ini, Rae Ri dan ibunya tengah menghabiskan waktu bersama memanggang beberapa kue kering. Nyonya Park kebetulan memiliki usaha sebuah toko kue tidak jauh dari rumahnya. Di hari seperti ini dia biasanya membuat beberapa kreasi baru kue kering atau mencoba beberapa resep yang dia dapatkan dari teman-temannya di Jerman sana. Selama tinggal di Jerman beberapa waktu lalu, dia memiliki beberapa teman dekat yang juga memiliki hobi yang sama dengannya.
“Eomma… dimana Eomma menaruh termit dan kismisnya?”
“Aigoo… Eomma lupa kalau sudah habis. Cepat beli ke minimarket di depan sana!”
Rae Ri mendengus, “Eomma…” Rengeknya.
“Wae? Palli, sebelum adonannya mengeras.”
“Arasseo…uangnya?”
Nyonya Park memutar bola matanya, “Sebentar!”
“Annyeong haseyeo, Ommonim!” teriak seseorang yang sudah cukup akrab dalam keluarga kecil ini.
“Seperti Jong In sudah datang,” jelas Nyonya Park.
Rae Ri hanya mengangguk kecil dan kembali menyibukan diri dengan cetakan-cetakan lucu kue kering. Dia tidak perlu bersusah payah membukakan pintu untuk tamu yang tidak diundang itu. Dia akan masuk dengan sendirinya tanpa dipersilahkan. Benar dugaan Rae Ri, terdengar langkah kaki dan senandung sumbang dari Jong In. Suara itu semakin mendekat.
“Annyeong haseyeo…,” Jong In menghampiri Rae Ri dan mencubit pipinya gemas. “Wuah… sepertinya aku akan dapat kue banyak hari ini. Ommonim aku siap mencoba semuanya dan memberi 100 jempol.”
Nyonya Park tertawa renyah. Dia sangat menyukai Jong In sejak Jong In kecil. Menggemaskan, terkadang nakal namun sangat sopan. Jong In yang terlihat begitu kekanak-kanakan di mata semua orang adalah sosok yang sangat bertanggung jawab. Nyonya Park tahu dengan sangat.
“Baiklah… kamu boleh membawa pulang beberapa.” Nyonya Park menyodorkan beberapa lembar uang ke arah Rae Ri, “Ige… pergi beli sana!”
“Biar aku saja Ommonim. Apa yang harus aku beli?”
Rae Ri tersenyum sumringah, “Joah… kamu saja yang pergi. Beli termit dan kismis. Kamu tahu ‘kan?”
“Tentu saja…,” Jong In mencomot beberapa keping kue berbentuk bulan sabit dan melahapnya. “Oh…Ommonim, hampir aku lupa. Ada sepupuku di depan. Bolehkah dia masuk?”
“Nde?” Rae Ri terkejut setengah mati. Dia tahu betul siapa yang dimaksud Jong In.
“Boleh,” Nyonya Park tersenyum ramah.
“Kalau begitu bolehkah aku mengajak Rae Ri untuk jalan-jalan hari ini?”
“Bawa saja yeoja nakal ini. Dia tidak membantu sama sekali.”
“Eomma… ini semua bukan membantu namanya?”
Nyonya Park hanya mencibir. “Sudahlah, kamu temani saja sepupu Jong In. Dan kamu Jong In cepat beli permintaan Ommonim tadi.”
“Algeseyeo…kajja Rae Ri-ya, temani Ki Bum Hyeong.”
Rae Ri sebenarnya sangat tidak sudi. Hanya saja jika dia menolak, ibunya pasti akan bertanya-tanya. “Arasseo.”
-LiP-
“Mau minum?”
Rae Ri memasang wajah ingin muntah melihat adegan memuakkan di hadapannya sekarang. Ingin rasanya dia berteriak agar sepasang kekasih di hadapannya itu menghentikan tingkah memalukan mereka. Darah Rae Ri serasa mendidih, kesabarannya sedang diuji. Beberapa kali dia melirik jam tangannya. Waktu baru berjalan beberapa menit, namun rasanya sudah sangat lama. Dia tidak tahan lagi.
“Aku ke atas dulu. Jika kalian butuh sesuatu, panggil saja aku.”
Ki Bum memandang Rae Ri tidak percaya. “Yak… kamu mau kemana?”
“Ki Bum-ssi, aku mau ke kamarku. Nikmati saja hidangannya, mumpung gratis.”
“Tuan rumah macam apa seperti itu,” gerutu Ki Bum.
“Oppa!” rengek gadis yang bersamanya. Dia merasa tidak enak dengan Rae Ri, sang Tuan rumah.
Rae Ri mendengus kesal, “Lalu aku harus menunggui kalian berdua? Kalian mau merusak mataku?”
“Nde?” gadis yang bersama Ki Bum sama sekali tidak mengerti. “Mianhae Rae Ri-ssi.”
“Bukan salahmu, Ji Eun-ssi,” Rae Ri berlalu bergitu saja.
Tepat di halaman rumah, Jong In mempercepat langkahnya. Sudah hampir lima kali dia bolak-balik ke minimarket untuk membelikan bahan-bahan pembuat kue yang entah mengapa selalu kurang. Tidak mungkin dia menolak permintaan Nyonya Park. Semoga saja ini yang terakhir.
“Oh… Hyeong, Ji Eun-ssi? Kapan kamu datang?”
Ji Eun tersenyum, “Ki Bum Oppa menjemputku tadi. Katanya kamu mengajakku untuk jalan-jalan hari ini.”
“Oh… tentu saja. Lebih banyak orang lebih asyik. Tunggu… apa kalian berdua –?” goda Jong In.
“Anio… kami tidak seperti yang kamu bayangkan,” klarifikasi Ji Eun.
Ki Bum tertawa kecil, “Kami berpacaran, Jonginnie. Kamu cemburu?”
“Bukankah Hyeong bilang akan –.”
“Oh, aku tidak peduli lagi dengannya. Seperti katamu,saatnya menjalani dengan yang baru.” Tawa Ki Bum pecah.
Jong In hanya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia merasa ada yang aneh dengan sepupunya itu. Bagaimana mungkin seorang Ki Bum yang bersikukuh akan menemukan ‘cintanya’ berubah secepat ini? Padahal sebulan yang lalu dia begitu menggebu-gebu ingin mencarinya.
Sedangkan Ji Eun, pipinya memerah. Entah karena malu atau marah. Memang harus Ji Eun akui bahwa Ki Bum memiliki tempat istimewa di hatinya. Dia tidak tahu sejak kapan rasa itu tumbuh. Dia hanya tahu satu hal, hatinya bereaksi aneh saat bersama Ki Bum dan otaknya tidak henti-hentinya membayangkan wajah Ki Bum.
“Jong In-ah… palli, Eomma menunggumu sejak tadi,” perintah Rae Ri sembari menuruni anak tangga satu persatu.
“Oh ne… setelah ini kita bisa pergi.” Jong In berlari kecil menuju dapur.
-LiP-
Tidak dipungkiri bahwa Rae Ri merasakan hal yang aneh saat Ki Bum memperlakukan Ji Eun dengan begitu istimewa. Dia bukannya tidak tahu dengan apa yang dia rasakan. Dia hanya tengah membohongi dirinya sendiri. Beberapa kali dia berkata pada dirinya sendiri bahwa semua inilah yang dia inginkan selama ini. Ki Bum yang telah melupakannya dan memulai hidup baru.
Sesekali Rae Ri akan tersenyum sendiri mendapati betapa bodohnya dia. Namun senyumnya itu terlihat begitu hambar, penuh kepalsuan. Senyum itu terasa menyayat hati. Senyum itu hanyalah sebuah topeng untuk menutupi kebimbangan dan kesedihan yang tengah dia alami.
“Rae Ri-ya… gwaenchanha?” Jong In membuyarkan lamunan Rae Ri.
“Nde?”
Jong In menatap wajah Rae Ri, mencoba menemukan sesuatu. “Neun gwaenchanha?”
“Nde?” Rae Ri terkekeh. “Wae geurae? Apakah aku terlihat aneh?”
“Anio…,” Jong In membalas senyum Rae Ri. “Hanya saja, kamu terihat memikirkan sesuatu yang begitu berat. Matamu terihat begitu sedih. Apa kamu sakit? Kalau iya, kita pulang saja.”
“Mwoya ige?” Rae Ri terkekeh dan memukul pundak Jong In. “Nan gwaenchana… jangan menatapku seperti itu. Kajja… kita harus ikut bermain seperti mereka. Sepertinya mengasyikan bermain air.” Rae Ri beranjak dari sebuah batu besar yang dia duduki.
Jong In tersenyum nakal. Entah ide gila apa yang muncul di dalam otaknya itu. Rae Ri bergidik ngeri. Dia kenal betul dengan ekspresi Jong In yang satu ini. Dia punya firasat buruk. Semoga Jong In tidak mendorongnya ke sungai. Jarak Jakgwaebcheon dan rumahnya sangat jauh. Dia tidak mau harus pulang dalam keadaan basah kuyup.
“Kim Rae Ri!” panggil Jong In sembari mengejar Rae Ri yang akan menyelupkan kakinya ke dalam air sungai yang sangat bening dan bersih itu.
“Mwoya?” Rae Ri berteriak kesal.
“Saranghae,” ucap Jong In sembari mencium pipi Rae Ri.
Rae Ri melongo sejenak dan…, “Kim Jong In, kamu mau mati ha!!!”
Rae Ri mengejar Jong In ke segala arah. Jong In cukup lincah berkelit. Beberapa kali dia menjulurkan lidahnya untuk mengejek Rae Ri. Di sisi lain Ki Bum melihat semuanya. Tangan terkepal dengan erat dan rahangnya mengeras. Dia bergeming walaupun cipratan air yang dilayangkan Ji Eun padanya membuat dia sedikit basah.
“Oppa… wae geurae?” Ji Eun mengalihkan pandangannya dari Ki Bum dan memutar badannya. “Wah… sepertinya sangat seru. Apa sebaiknya kita bergabung dengan mereka?” Ji Eun kembali menatap Ki Bum. “Oppa? Ki Bum Oppa?”
Ji Eun hampir tidak berkedip untuk mengetahui apa yang terjadi pada Ki Bum. Pemuda dihadapannya itu seperti tidak benar-benar sadar. Mungkin jiwanya tidak lagi berada di tubuhnya. Ji Eun menghela napas pasrah. Dia tahu sejak awal bahwa semua ini hanya sandiwara. Dia terlalu mendalami perannya dan berharap bahwa semuanya adalah kenyataan. Lagi-lagi dia menjadi gadis yang sangat bodoh.
Perlahan Ji Eun berjalan ke tepi sungai. Kepalanya tertunduk lesu. Hembusan napas kasar berulang kali dia lakukan. Dadanya terasa begitu sesak. Entah sampai kapan dia akan bertahan. Ini semua hanyalah permulaan. Mampukah dia bertahan menjalani semua ini? Atau haruskah dia mengakhirinya sekarang? Jika dia menyerah sekarang dan menghilang, mungkin hatinya akan mampu menghapus keinginan untuk memiiki hati pemuda itu. Bodoh.
-LiP-
“Rae Ri-ssi…,” Ji Eun akhirnya mengeluarkan suara setelah beberapa lalu terdiam dan hanya merespon pertanyaan dari Rae Ri dengan gerakan kepalanya.
“Emm…?” jawab Rae Ri santai tanpa mengalihkan padangannya dari ponsel Jong In yang beberapa saat lalu dia rampas.
Ji Eun sejenak memperhatikan Ki Bum dan Jong In yang tengah mengantri membeli makanan. “Aku boleh bertanya sesuatu?”
Rae Ri menegakkan kepalanya, “Mwo?”
“Emm…,” Ji Eun gugup. “Ada masalah apa kamu dengan Ki Bum Oppa? Sepertinya kalian telah lama saling kenal, dan seolah tidak saling mengenal.”
“Nde?” Rae Ri terkekeh. “Dia pasti sudah menceritakannya. Bukankah kalian sepasang kekasih, jadi tidak ada hal yang perlu ditutupi satu sama lain.”
“Ne…,” Ji Eun mengangguk ragu. “Dia sudah menceritakan semuanya. Rae Ri-ssi, apakah semua ini sandiwara?”
“Sandiwara?” Rae Ri mengeryitkan dahinya.
“Kamu dan namja itu, kamu dan Jong In serta aku dan Ki Bum Oppa.”
“Anio… tidak ada sandiwara,” Rae Ri tersenyum manis. “Mungkin orang selalu mengatakan bahwa kehidupan ini adalah sandiwara. Semua itu salah. Apa kamu fikir Tuhan tidak serius menentukan takdir seseorang sehingga bisa seenaknya diubah-ubah? Apa kamu fikir Tuhan main-main dengan kita? Jangan katakan bahwa pertemuan kita ini adalah sandiwara. Kamu dan aku lahir di dunia adalah sandiwara. Kemudian kematian juga sandiwara. Pemikiran konyol.”
Ji Eun tertegun, “Lalu mengapa –?”
“ –mengapa aku menjadi seperti ini? Maksudku, aku bukan Kim Rae Ri yang dia kenal?” Sekali lagi Rae Ri terkekeh, “Takdir yang mengubahku. Takdirku adalah menjadi seperti sekarang ini. Mungkin bagi beberapa orang hal ini tidak bisa diterima, tetapi aku harus mengikuti kehendak takdir.”
“Apakah cinta yang menyakitkan ini juga takdir?”
Rae Ri tidak dapat menahan tawanya. Ji Eun sangat polos, terlalu polos. “Ji Eun-ssi… Bukan cinta namanya jika tidak menyakitkan. Tuhan menciptakan cinta agar semua orang bisa merasakan sakit.”
“Rae Ri-ssi…,” Ji Eun menatap mata Rae Ri. “Kamu mencintai Ki Bum Oppa dan kamu menyakiti dirimu sendiri untuk menyakitinya. Bukankah begitu?”
“Mwoya?” Rae Ri menghindari tatapan Ji Eun dan terkekeh. “Ternyata tidak polos,” gumamnya.
“Kamulah yang bersandiwara. Kamu berlari dari takdir Tuhan dan kamu menciptakan sendiri rasa sakit itu,” desak Ji Eun.
“Pembicaraan yang menyenangkan. Tetapi sepertinya sudah waktunya makan siang.”
Ji Eun hanya mengangguk kecil. Tatapan matanya tidak sedikitpun lepas mengawasi ekspresi mata Rae Ri. “Ne…”
-LiP-
Ki Bum menghempaskan dirinya di sofa ruang keluarga. Dia merasakan letih yang teramat sangat hari ini. Jiwa merasakan letih yang tidak dapat tergambarkan. Matanya terpejam sejenak, mencari ketenangan. Semuanya tidak semudah yang dia bayangkan. Bahkan sepertinya dia melakukan hal yang salah. Dia telah mengorbankan seseorang yang seharusnya tidak terlibat sama sekali. Betapa kejamnya dia.
Kelebatan kenangan itu muncul lagi. Mengapa semua itu sangat susah dilupakan? Tidak bisakah dia memejamkan mata sejenak tanpa terbayang kisah cinta yang indah namun berakhir menyedihkan? Apakah hanya dia yang merasakan sakit ini? Apa mungkin karena dia yang terlalu melebih-lebihkan? Masih banyak lagi pertayaan serupa yang memenuhi otaknya.
“Hyeong… apa yang Hyeong fikirkan ?”
Ki Bum hanya menggeram, “Obseyeo.”
“Lee Ji Eun atau Kim Rae Ri?”
“Maksudmu?” Ki Bum menurunkan lengannya yang sedari tadi menutupi wajahnya.
Jong In terkekeh, “Kim Rae Ri adalah yeoja itu ‘kan? Yeoja yang meninggalkan Hyeong tanpa alasan apapun. Yeoja yang membuat Hyeong menanti hingga hari ini. Kim Rae Ri, dia ‘kan?”
“Anio… kamu jangan sok tahu.”
“Aku tahu, Hyeong. Kim Rae Ri adalah yeoja yang mencampakan Hyeong. Lucu sekali, ternyata Hyeong dapat menemukannya dalam waktu singkat.”
Ki Bum menghela napas, “Dari mana kamu tahu?”
“Ponsel dan beberapa barang serta prilaku Hyeong,” Jong In nyengir kuda.
“Baiklah… lalu kalaupun dia, apa yang ingin kamu lakukan?”
“Obseyeo… ah, ada satu hal. Membuat dia bahagia, walaupun sepertinya dia sudah sangat bahagia sekarang. Dan jika Hyeong mengusik kebahagiaannya itu, aku akan melakukan apapun untuk menghentikan Hyeong.”
Ki Bum mengeryitkan dahinya, “Maksudmu?”
“Aku sama sekali tidak mengerti dengan masalah kalian. Tetapi keputusan yang diambil Rae Ri pasti dikarenakan Hyeong juga. Mungkin Hyeong memang harus menerima keputusannya, berhenti mengusiknya. Yah… seperti rencana awal Rae Ri. Dia akan lenyap dari kehidupan Hyeong dan begitu sebaliknya,” Jong In beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju dapur.
“Mengapa kamu peduli?”
Jong In menghentikan langkahnya dan menggaruk tengguknya. “Jawaban semua Namja di dunia ini pasti hampir sama. Jawaban yang ada diotakku Hyeong aku jamin sama dengan jawabanku.”
“Wae?”
Jong In memutar badannya –menghadap Ki Bum lagi, “Aku ingin dia melupakan Hyeong selamanya.”
“Mwo?!!”
“Jangan berlagak bodoh Hyeong. Sebaiknya Hyeong pergi, bukannya menarik orang lain dalam masalah ini,” sindir Jong In.
Ki Bum mulai kesal, “Aku bodoh? Bukankah dirimu yang bodoh? Apa kamu tidak tahu –?”
“ –aku tahu. Namja itu bukan? Aku ada di sana juga Hyeong. Aku melihatmu mengejar Rae Ri hingga kejadian ‘itu’. Tetapi aku tidak peduli.”
“Micheoseoyeo?”
“Cinta memang menyakitkan, dan itu mengasyikan.”
Jong In berlari kecil menuju dapur dan meninggalkan Ki Bum. Wajah Ki Bum menunjukkan ketidakpercayaan yang cukup besar. Dia tidak dapat mengerti maksud perkataan Jong In. Dia terlihat sangat bodoh sekarang. Sesekali dia akan tersenyum sinis dan kemudian kembali murung. Siapa yang sebenarnya bodoh? Apakah dia penyebab semua masalah ini? Tentu tidak.
-LiP-
“Yak…Kim Jong In!” pekik Rae Ri ketika sampai di ruang keluarga kediaman sahabatnya itu.
“Rae Ri-ssi?”
Rae Ri mematung. Entah ini dikatakan kesialan atau bukan, mengapa harus ada Ki Bum dan Ji Eun? Rae Ri yang menyadari dirinya bertingkah aneh dengan segera mengembangkan senyumnya seperti biasa. Dia tidak akan peduli dengan apa yang mereka lakukan. Memang seharusnya begitu.
“Jong In keluar,” jawab Ki Bum ketus.
Rae Ri mengangguk kecil, “Begitukah?”
“Ne.”
“Apakah akan lama?”
“Molla!” Ki Bum semakin ketus.
“Aku rasa tidak, tunggu saja,” usul Ji Eun.
“Sepertinya memang harus begitu,” Rae Ri mengambil tempat duduk tepat di hadapan mereka.
Ki Bum mendengus kesal, “Ji Eun-ah, kajja lanjutkan permainannya.”
“Rae Ri-ssi… mau ikut main? Memang terlihat kekanak-kanakan, tetapi cukup mengasyikkan.”
Rae Ri memandang benda di atas meja, “Monopoli? Ah… aku tidak bisa bermain monopoli.”
“Sudahlah…kita berdua saja. Jangan bilang kamu mau mengulang permainan agar tidak aku hukum. Lihat, kamu akan kalah,” Ki Bum mencubit pipi Ji Eun.
“Oppa…,” rengek Ji Eun.
Rae Ri mencoba untuk tertawa bersama mereka. Rupanya hubungan Ki Bum dan Ji Eun sudah sampai sejauh ini. Mereka berdua terlihat sangat serasi. Rae Ri tersenyum sendiri menyaksikan Ji Eun dan Ki Bum yang bercanda. Mereka bahkan melupakannya yang sedang ada di hadapan mereka.
Deg…!
Senyum Rae Ri perlahan memudar. Rasa aneh itu kembali menyayat hatinya tatkala Ki Bum mencuri kesempatan mencium pipi Ji Eun saat Ji Eun berkonsentrasi dengan papan monopoli di hadapannya. Ji Eun juga tidak kalah terkejut. Dia memadang Ki Bum tidak percaya. Ki Bum hanya membalasnya dengan senyuman nakal. Beberapa detik kemudian Ji Eun memperhatikan Rae Ri. Rae Ri menundukkan kepalanya, pura-pura tidak pernah melihat kejadian itu.
“Aku ambilkan minum lagi,eoh?” usul Ki Bum.
“Anio, Oppa. Biar aku saja. Rae Ri-ssi, mau minum apa?”
“Tidak perlu, aku akan mengambil sendiri saja nanti. Lagian Jong In bilang dia sudah dekat,” Rae Ri menunjukkan ponselnya pada Ji Eun untuk meyakinkan.
“Baiklah.”
Hening beberapa saat. Rae Ri dan Ki Bum bertingkah canggung. Tidak ada satupun diantara mereka yang berniat memulai pembicaraan satu sama lain. Rae Ri sibuk dengan ponselnya, begitu juga Ki Bum yang mulai membaca majalah. Keheningan antara mereka hanya sesekali di usik oleh hembusan napas, detak jam dinding dan sedikit suara dari arah dapur.
“Apa kamu tidak akan menyerah?” suara Ki Bum terdengar seperti berbisik.
Rae Ri menegakkan kepalanya, “Nde?”
“Apa kamu tidak akan menghentikan permainan ini? Apa kamu tidak peduli dengan mereka yang ikut terlibat?”
“Permainan?”
Ki Bum menatap Rae Ri intens. “Menyerahlah! Hentikan semua ini. Kita mulai semuanya dari awal.”
“Apa maksudmu?”
“Jangan berlagak bodoh, Kim Rae Ri!” Ki Bum menahan dirinya agar tidak membentak Rae Ri. “Aku mohon,” Ki Bum melunak. “Permainan ini tidak hanya menyakitiku tetapi kamu, Ji Eun, Jong In dan namja itu.”
“Permainan? Sampai kapan kamu akan menganggap ini semua permainan? Jong In dan Jin Ki Oppa adalah urusanku, aku tidak mempermainkan mereka berdua. Sebaiknya kamu juga serius dengan Ji Eun. Jangan sampai dia terluka, dia mencintaimu.”
“Lalu kamu?”
Alih-alih menjawab, Rae Ri terlihat akan menelepon seseorang. Ki Bum mendengus kesal. Mengapa gadis yang sangat dia cintai ini begitu keras kepala? Mengapa harus berbohong? Apa gengsinya itu terlalu besar untuk mengakui perasaannya yang sebenarnya?
“Jong In tidak akan menjawabnya. Ponselnya ada di situ,” Ki Bum menunjuk meja kecil beberapa meter dari tempatnya duduk.
Rae Ri mengikuti arah yang ditunjuk Ki Bum. Sebuah ponsel berwarna hitam terlihat menyala. “Kalau begitu, aku akan pulang,” beranjak dari tempat duduknya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa kamu benar-benar tidak mencintaiku lagi?”
“Ne…,” Rae Ri tertunduk dan berlalu.
“Rae Ri-ssi, kamu mau kemana?” tanya Ji Eun sembari berjalan menuju meja untuk menaruh minuman yang dia bawa. “Tidak menunggu Jong In?”
“Anio… dia akan menjemputku di rumah nanti,” Rae Ri kembali tersenyum manis.
“Baiklah… hati-hati. Mianhae…”
Rae Ri hanya mengangguk kecil. Perlahan kakinya melangkah meninggalkan Ji Eun dan Ki Bum. Ki Bum terus memandangi punggung Rae Ri yang menjauh. Tangannya mengepal dengan erat hingga garis urat terbentuk. Rae Ri yang tak acuhkannya dan selalu berpura-pura baik-baik saja itu membuat emosinya meledak-ledak. Entah apa lagi yang harus dia lakukan agar pertahanan Rae Ri runtuh dan menunjukkan kerapuhannya.
“Rae Ri-ssi, tasmu!” pekik Ji Eun tepat sebelum Rae Ri keluar dari ruangan itu.
Rae Ri segera menyadari bahwa tasnya memang tertinggal. Segera dia memutar badan dan kembali untuk mengambil tasnya. Beberapa meter di hadapannya Ji Eun tersenyum sembali mengacungkan tas hijau toska Rae Ri. Rae Ri membalas senyum itu setulus mungkin.
Ki Bum hampir tidak berkedip memandang Rae Ri yang mampu tersenyum bahagia seperti itu. Dan itu membuat dia semakin marah. Diapun berdiri tepat di belakang Ji Eun. Gerakan cepatnya memutar badan Ji Eun membuat Ji Eun dan Rae Ri juga terkejut. Tubuh Ji Eun menegang seketika, sedangkan Rae Ri segera memalingkan wajahnya. Ki Bum tiba-tiba mencium Ji Eun.
“Rae Ri.. apa kamu –?” Jong In tidak menyelesaikan kalimatnya.
Perhatiannya segera tertuju pada Rae Ri yang memalingkan wajahnya dan tertunduk. Tidak perlu berfikir panjang, Jong In meraih pergelangan tangan Rae Ri dan membawanya keluar dari rumah. Rae Ri tidak melawan dan mengikuti Jong In begitu saja. Langkah kakinya begitu gontai, hampir tanpa tenaga. Jong In menghentikan langkahnya tepat di bawah pohon forsythia yang ada di sudut halaman rumahnya.
“Apakah kamu lama menungguku?Mianhae…”
Rae Ri hanya membalas dengan gelengan kepalanya. Dia masih tertunduk, tidak berani menatap Jong In. Senyum Jong In menghilang. Dia memang tidak berniat untuk mengungkit kejadian tadi. Tetapi sepertinya akan sangat sulit.
“Aku akan mengambilkan tasmu. Tunggu disini!”
Lagi-lagi Rae Ri hanya menjawab dengan gerakan kepalanya dan tetap tertunduk. Jong In semakin gusar. Sikap diam Rae Ri membuat dia sangat khawatir. Dia yakin, Rae Ri pasti tidak baik-baik saja sekarang. Perbuatan Ki Bum tadi pasti memberikan pukulan yang cukup keras bagi Rae Ri. Sakit, hati Jong In sakit. Namun, dia menyadari bahwa ini semua tidak mudah juga bagi Rae Ri.
“Luapkanlah!” Jong In meraih Rae Ri ke dalam pelukannya. “Jika kamu menahannya lagi, aku yakin akan semakin berat bagimu. Jangan terlalu difikirkan, keluarkan saja semuanya sekarang.”
Perlahan terasa guncangan dari tubuh Rae Ri. Jong In mempererat pelukannya. Rae Ri menangkupkan kedua tangannya untuk menutup wajahnya. Isakan Rae Ri mulai terdengar. Hati Jong In makin teriris mendengarnya. Tangan Jong In mulai bergerak lembut membelai rambut Rae Ri. Berharap dengan cara itu Rae Ri dapat lebih tenang. Biarlah Rae Ri menangis dalam pelukannya walaupun tangis itu bukan untuknya.
-LiP-
Pagi buta Jong In sudah bertamu ke rumah Rae Ri. Sebenarnya dia tidak bisa tenang begitu saja mengingat kejadian kemarin. Walaupun semalaman dia menemani Rae Ri dan Rae Ri terlihat baik-baik saja. Semalam Rae Ri memang tertawa terpingkal-pingkal bersamanya. Namun dia sadar, semua itu hanya demi membuatnya tidak lagi khawatir.
“Annyeong haseyeo, Ommonim,” Jong In menyapa Nyonya Park begitu pintu depan terbuka.
“Oh… kamu mengagetkan saja. Tsk, pagi-pagi sudah ada di sini kamu. Masuklah!”
“Rae Ri?”
Nyonya Park mendengus mengejek, “Dia di kamarnya, sudah bangun. Sepertinya sedang mencuci muka.”
“Begitukah?”
“Naiklah, siapa tahu dia tidur lagi,” Nyonya Park tertawa nyaring.
Jong In nyengir kuda, “Baiklah, Ommonim. Gomawo.”
“Oh, Jong In-ah. Belakangan ini Rae Ri terlihat begitu lelah. Ommonim mohon jagalah dia. Ommonim tidak mau kehilangannya.”
“Ne… kita semua juga tidak mau kehilangannya.”
“Baiklah, gomawo Jong In-ah.” Nyonya Park tersenyum, namun kali ini dengan pancaran kesedihan di matanya.
.
.
.
.
.
“Yak pemalas, bangunlah!” Jong In membuka pintu perlahan.
Dia tidak dapat menemukan Rae Ri di tempat tidurnya. Jong In membuka pintu semakin lebar. Rae Ri tetap tidak terlihat, bahkan di depan meja riasnya. Langkah demi langkah Jong In memasuki kamar bernuansa biru laut yang sangat luas itu. Ketika tatapannya mencapai rak buku yang membagi ruang tidur dan belajar Rae Ri, Jong In melihat sosok Rae Ri di sana.
“Yak… kamu tuli ha!!! Aku memanggilmu dari tadi dan kamu tidak menjawab,” dia mengomel sepanjang langkahnya mendekati posisi Rae Ri. “Kim Rae Ri, kamu kenapa?”
“Gwaenchanha,” jawab Rae Ri dengan suara parau.
“Coba aku lihat wajahmu,” pinta Jong In.
“Gwaenchanha, tunggu saja aku di luar,” Rae Ri membelakangi Jong In.
Jong In menahan tangan kiri Rae Ri yang mendoronganya, “Kim Rae Ri, apa yang terjadi?”Jong In panik.
“Nan gwaenchanha,kka! Kkarageuyeo!!!” teriak Rae Ri sekuat tenaga.
“Rae Ri-ya!” Jong In berhasil memutar tubuh Rae Ri. “Ada apa dengan mulutmu? Kenapa kamu terlihat pucat.”
Rae Ri yang sempat membekap mulutnya hanya mendorong Jong In dengan sebelah tangan. Jong In tidak bergeser sedikitpun, tenaga Rae Ri tidak mampu mengoyahkannya. Perlahan Rae Ri melemas dan tidak mampu lagi meronta. Jong In segera meraih tangan Rae Ri yang sedari tadi menutupi mulutnya sendiri.
“Darah?!!”Pekik Jong In.
“Lepaskan! Ini bukan apa-apa!”
Jong In semakin terbelalak ketika mendapati bahwa mulut Rae Ri merah oleh darah. Entah gusi atau bagian mulut lain yang mengeluarkan darah. Jong In panik, dia segera meraih tisu yang kebetulan berada di atas meja. Dengan kecepatan kilat dia menghapus darah yang berada di tangan Rae Ri dan bibir Rae Ri.
“Jong In-ah… ini hanya,” Rae Ri tidak tahu harus menjelaskan seperti apa.
“Ini yang kamu katakan baik-baik saja. Sekarang ganti pakaianmu, kita kerumah sakit.”
“Nde?”
“Aku tahu, Rae Ri-ya. Aku tahu penyakitmu ini. Jadi sekarang jangan main-main. Kita harus cepat,” Jong In berlari kecil menuju lemari.
Rae Ri segera menyusul Jong In, “Jangan sampai Eomma tahu.”
“Tetapi –,” Jong In terdiam mendapati Rae Ri yang meneteskan airmata. “Baiklah… kamu berkumurlah untuk membersihkan darah itu. Ganti bajumu! Aku akan menunggu di bawah dan mencari alasan.”
“Gomawo, Jong In-ah.”
Jong In menghampiri Rae Ri dan mengecup singkat dahi Rae Ri. “Kamu akan baik-baik saja.”
–To be continued–